Ketulusan Cinta Seorang Pelacur

Seorang wanita solehah masuk neraka sebab kucing yang ia kurung tanpa diberi makanan. Seorang pelacur masuk surga sebab seekor anjing kehausan yang ia tolong dengan memberinya minum dari persediaan air terakhirnya.

Kesalehan yang sering kita mohonkan untuk anak-anak kita, istri kita dan orang-orang terdekat merupakan satu formula jitu. Saleh adalah satu predikat mulia yang dengannya segala kebaikan jadi tercukupkan.

Tapi kenapa seorang perempuan yang salehah di potongan cerita tadi masuk neraka? Kesalehan yang cuma tampak sebagai penampilan luar, atau citra tidak benar-benar bisa disebut kesalehan. Seolah-olah saleh, itu mungkin istilah yang tepat untuk orang yang cuma mementingkan kesalehan luar.

Kita di sini sering terjebak dengan kulit. Seolah apa yang tampak luar adalah sejati. Televisi menuntun penonton untuk mengartikan bahwa saleh adalah pakaian atau bibir-bibir yang penuh ucapan terpuji. Panggung-panggung politik dan sosial mengarahkan banyak orang untuk diseragamkan: bahwa saleh adalah yang memakai jilbab, memiliki pasangan berjenggot dan selalu menuruti suaminya meskipun suami kawin empat bini.

Tidak ada yang salah dengan penampilan luar yang digandrungi banyak mata penonton dan banyak pandangan orang umumnya. Ada baiknya mata dan pandangan tidak berhenti pada kulit. Toh cuma orang sakit saja yang puas dengan kulit demi kesembuhan penyakitnya. Seperti penderita diabetes yang puas cuma dengan jus kulit manggis saja tanpa isi manggisnya. Kita maklumi karena ia menderita penyakit.

Kita yang sehat seyogyanya tidak melihat tampilan luar saja. Tapi kesalehan dalam hendaklah kita perhatiakan. Seorang pelacur masuk surga… Dalam hati pelacur ada cinta dan ketulusan menolong meskipun ia harus mati sebab tak ada air yang bisa diminumnya lagi. Sekalipun yang ditolong adalah seekor anjing.

Adakah yang bisa menunjukkan saya cinta dan ketulusan dari segala yang ditampilkan televisi? Adakah yang bisa menunjukkan saya cinta dan ketulusan yang ditampilkan sikap dalam kontrak sosial dan politik?

Televisi itu penghibur, cuma pelengkap yang tanpanya hidup tetap berjalan. Demikian juga media massa lainnya. Interaksi sosial dan politik yang disepakati di atas kontrak, tertulis ataupun tidak, sarat dengan perhitungan-perhitungan. Sebuah kontrak memperhintungkan untung dan rugi. Sebuah kontrak sepi dari ketulusan, ramai dari pamrih.

Cinta dan ketulusan itu ada di keseharian makhluk-makhluk terpilih. Kehidupan makhluk-makhluk yang hidupnya adalah tugas sebagai kepanjangan tangan Tuhan. Makhluk-makhluk ini sebagai perantara Tuhan menyebarkan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.

Seekor Induk ayam membela mati-matian anaknya yang nyaris terlindas truk. Seorang ibu menyusui anaknya yang baru lahir. Diliput ataupun tidak oleh media massa, diekspos ataupun tidak oleh perbincangan masyarakat, Tuhan tetap menitipkan cinta dan ketulusannya di induk ayam dan ibu tersebut. Ketulusan cinta yang sepi dari pamrih apappun.

Tinggalkan komentar