Agama Mutlak dan Agama Relatif

Kita sepakat bahwa dua sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Dua sumber ini sifatnya mutlak. Al-Quran keKita sepakat bahwa dua sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Dua sumber ini sifatnya mutlak. Al-Quran kemutlakan terjaga. Sunnah juga demikian, karena Kanjeng Nabi tidak pernah berbicara dari dorongan hawa nafsunya. Sunnah semata-mata bimbingan dari Allah kepada Rasul-Nya.

Jika Al-Quran itu mutlak, maka pemahaman terhadap Al-Quran tidak demikian. Pemahaman terhadap Al-Quran justru relatif. Pemahaman terhadap Al-Quran bisa benar dan bisa salah. Demikian juga Sunnah, ia mutlak. Namun pemahaman terhadap Sunnah itu relatif.
Al-Quran dan Sunnah itu mutlak, karena apa yang dialami oleh Kanjeng Nabi adalah pewahyuan dan bimbingan dari Allah. Pengalaman pewahyuan dan bimbingan ini mutlak benar.

Sebagai contoh, jika Anda merasakan lapar, pengalaman lapar Anda itu mutlak benar. Kemudian kawan Anda memahami kehadiran lapar yang anda alami, mengemasnya dalam bahasanya, meriwayatkan dan menceritakan kembali pengalaman lapar Anda kepada orang lain, itu bisa bisa benar dan bisa salah. Karena ‘mengalami lapar’ tidak sama dengan meriwayatkan pengalaman lapar.

Maka, agama memiliki dua wilayah: yang mutlak, dan yang relatif.

Dari agama yang mutlak, muncullah pemahaman terhadapnya. Pemahaman relatif yang kelak disebut sebagai mazhab, sekte, isme, pandangan dan sebagainya. Mazhab merupakan pemahaman, maka ia relatif. Sekte adalah pemahaman, ia juga relatif. Isme, pandangan, ideologi dan semua yang di bawah wahyu adalah relatif, bisa benar, dan bisa salah.

Pemilahan agama menjadi dua wilayah ini amat penting. Agar kita tidak memutlakkan yang sebenarnya relatif. Agar kita tidak menyakralkan apa yang sebenarnya profan. Agar kita tidak menganggap baku apa yang sebenarnya masih dugaan-dugaan. Ya, sebagaian besar hukum syariat dibangun atas dugaan-dugaan (zhanniyyat).

Pembagian agama menjadi yang mutlak dan yang relatif ini menjadi penting. Supaya kita tidak meyakini apa yang sebenarnya bukan fondasi sebagai fondasi, sehingga muncul fundamentalisme agama yang justru rapuh. Supaya kita tidak meyakini apa yang sebenarnya tidak mendasar (radical) sebagai dasar, sehingga muncul radikalisme yang justru mencoreng Islam.

Banyak perpecahan muncul lantaran kita gagal memahami mana yang mutlak dan mana yang relatif. Banyak kehancuran terjadi akibat kita gagal mendedahkan mana yang fondasi dan mana yang sekedar interior. Banyak kesemrawutan timbul lantaran tidak bisa membedakan mana wahyu dan mana pemahaman terhadap wahyu.

Dalam tahap tertentu — setelah melalui pembelajaran, pemikiran dan segala upaya — saya meyakini apa yang saya pahami adalah kebenaran. Itu harus! Kalau tidak, buat apa saya susah-payah belajar, mondok, berpikir, menganalisa dan sebagainya jika hanya membangun keraguan dan menganggap ada banyak kebenaran. Namun keyakinan saya, keyakinan kita terhadap kebenaran yang telah kita anut tidak boleh menyerang kebenaran yang diyakini orang lain. Keyakinan kita terhadap satu kebenaran tidak boleh agresif, menteror, mengancam, menegasikan kebenaran yang diyakini pihak lain. Ini serius, tapi santai. Santai, tapi serius. Kiranya wajah Islam yang seperti ini yang sejak lama ada di Nusantara kita.

“Pendapatku benar, namun mungkin mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, namun mungkin mengandung kebenaran,” demikian Imam Syafii dengan kearifannya. Seorang Mujtahid yang mayoritas penduduk Indonesia mengamalkan mazhabnya. Seorang Imam bijak dan toleran yang belakangan ini sering dibajak namanya oleh kaum intoleran.

Sekali lagi, wahyu itu mutlak. Dan pemahaman terhadap wahyu itu relatif, kecuali bagi penceramah pemarah yang memutlakkan pemahamannya agar disejajarkan dengan wahyu, minimal disejajarkan dengan Imam Syafii. Hehehe…
Wallahu a’lam.