Syi’ir Tanpo Waton

Astaghfirullah rabbal baroya

‘Ku mohon ampun Tuhan semesta

Astaghfirullah minal khathaya

‘Kumohon ampun segala dosa

Rabbi zidni ‘ilman nafi’a

Gusti, tambahkan manfaat ilmu

Wawaffiqni amalan shaliha

Tuntun amalku gapai ridha-Mu

Ya Rasulallah, Salamun alaik

Ya Rasulallah, untukmu salam

Ya rafi’asy syani waddaraji

Pemilik luhur segala maqam

Athfatan ya ji ratal ‘alami

Sayangi kami, Sang Rahmat alam

Ya uhailal judi wal karomi

Wahai pemilik dharma kemuliaan

*********

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran

Aku memulai menyusun puisi

Kelawan muji maring Pengeran

Dengan memuji ilahi Rabbi

Kang paring rohmat lan kenikmatan

Pemberi rahmat dan kenikmatan

Rino wengine tanpo pitungan

Siang dan malam tanpa hitungan

Duh bolo konco priyo wanito

Hai sahabat semua, pria, wanita

Ojo mung ngaji syareat bloko

Jangan mengaji syariat belaka

Gur pinter ndongeng nulis lan moco

Pandai cerita, menulis, baca

Tembe mburine bakal sengsoro

Nanti di akhir bakal sengsara

Akeh kang apal Qur’an Haditse

Banyak penghafal dalil agama

Seneng ngafirke marang liyane

Gemar menuduh kafir sesama

Kafire dewe dak digatekke

Kufurnya sendiri mereka lupa

Yen isih kotor ati akale

Lantaran kotor hati akalnya

Gampang kabujuk nafsu angkoro

Mudah tergoda nafsu angkara
Ing pepaese gebyare ndunyo

Dalam hiasan glamornya dunia
Iri lan meri sugihe tonggo

Iri dan dengki kekayaan tetangga
Mulo atine peteng lan nisto

Maka hatinya gelap dan nista

Ayo sedulur jo nglaleake

Ayo saudara jangan lupakan
Wajibe ngaji sak pranatane

Wajibnya ngaji akhlak unggulkan
Nggo ngendelake iman tauhide

Agar iman tauhid tak tergoyahkan
Baguse sangu mulyo matine

Bekal ‘tuk mati dalam kemuliaan

Kang aran shaleh bagus atine

Saleh sejati salehnya hati
Kerono mapan seri ngelmune

Karena kokoh ilmu sejati

Laku thariqat lan ma’rifate

Thariqat-ma’rifat hiasi diri
Ugo haqiqot manjing rasane

Juga hakikat merasuk di hati

Al Qur’an qodim wahyu minulyo

Al-Quran qodim wahyu mulia
Tanpo tinulis biso diwoco

Tanpa tertulis bisa dibaca
Iku wejangan guru waskito

Itu wejangan guru waskita

Den tancepake ing jero dodo

Yang ditancapkan di dalam dada

Kumantil ati lan pikiran

Menempel di hati dan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan

Merasuk di dalam penjuru badan
Mu’jizat Rasul dadi pedoman

Mu’jizat Rasul jadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman

Sbagai prantara masuknya iman

Kelawan Alloh Kang Moho Suci

Bersama Allah Yang Maha Suci
Kudu rangkulan rino lan wengi

Berpeluk siang dan malam hari

Ditirakati diriyadohi

Ditirakati dan latih diri
Dzikir lan suluk jo nganti lali

Zikir dan suluk jangan berhenti

Uripe ayem rumongso aman

Hidup kan nyaman merasa aman
Dununge roso tondo yen iman

Buktinya sikap benarnya iman
Sabar narimo najan pas-pasan

Sabar mnerima meski pas-pasan
Kabeh tinakdir saking Pengeran

Semua ketetapan dari Tuhan

Kelawan konco dulur lan tonggo

Bersama teman saudara ttangga
Kang podho rukun ojo dursilo

Hendaklah rukun jangan sengketa
Iku sunahe Rasul kang mulyo

Itulah sunnah Rasul Yang mulia

Nabi Muhammad panutan kito

Nabi Muhammad panutan kita

Ayo nglakoni sakabehane

Ayo lakukaj keseluruhannya
Allah kang bakal ngangkat drajate

Allah yang akan angkat derajatnya

Senajan asor toto zohire

Meskipun rendah tampak zahirnya
Ananging mulyo maqom drajate

Tetapi mulia pangkat derajatnya

Lamun palastro ing pungkasane

Jika bertemu akhir hayatnya
Ora kesasar roh lan sukmane

Tak ‘kan tersesat ruh dan jiwanya
Den gadang Alloh swargo manggone

Dipuji Allah surga tempatnya
Utuh mayite ugo ulese

Utuh jasadnya juga kafannya

Agama Mutlak dan Agama Relatif

Kita sepakat bahwa dua sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Dua sumber ini sifatnya mutlak. Al-Quran keKita sepakat bahwa dua sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Dua sumber ini sifatnya mutlak. Al-Quran kemutlakan terjaga. Sunnah juga demikian, karena Kanjeng Nabi tidak pernah berbicara dari dorongan hawa nafsunya. Sunnah semata-mata bimbingan dari Allah kepada Rasul-Nya.

Jika Al-Quran itu mutlak, maka pemahaman terhadap Al-Quran tidak demikian. Pemahaman terhadap Al-Quran justru relatif. Pemahaman terhadap Al-Quran bisa benar dan bisa salah. Demikian juga Sunnah, ia mutlak. Namun pemahaman terhadap Sunnah itu relatif.
Al-Quran dan Sunnah itu mutlak, karena apa yang dialami oleh Kanjeng Nabi adalah pewahyuan dan bimbingan dari Allah. Pengalaman pewahyuan dan bimbingan ini mutlak benar.

Sebagai contoh, jika Anda merasakan lapar, pengalaman lapar Anda itu mutlak benar. Kemudian kawan Anda memahami kehadiran lapar yang anda alami, mengemasnya dalam bahasanya, meriwayatkan dan menceritakan kembali pengalaman lapar Anda kepada orang lain, itu bisa bisa benar dan bisa salah. Karena ‘mengalami lapar’ tidak sama dengan meriwayatkan pengalaman lapar.

Maka, agama memiliki dua wilayah: yang mutlak, dan yang relatif.

Dari agama yang mutlak, muncullah pemahaman terhadapnya. Pemahaman relatif yang kelak disebut sebagai mazhab, sekte, isme, pandangan dan sebagainya. Mazhab merupakan pemahaman, maka ia relatif. Sekte adalah pemahaman, ia juga relatif. Isme, pandangan, ideologi dan semua yang di bawah wahyu adalah relatif, bisa benar, dan bisa salah.

Pemilahan agama menjadi dua wilayah ini amat penting. Agar kita tidak memutlakkan yang sebenarnya relatif. Agar kita tidak menyakralkan apa yang sebenarnya profan. Agar kita tidak menganggap baku apa yang sebenarnya masih dugaan-dugaan. Ya, sebagaian besar hukum syariat dibangun atas dugaan-dugaan (zhanniyyat).

Pembagian agama menjadi yang mutlak dan yang relatif ini menjadi penting. Supaya kita tidak meyakini apa yang sebenarnya bukan fondasi sebagai fondasi, sehingga muncul fundamentalisme agama yang justru rapuh. Supaya kita tidak meyakini apa yang sebenarnya tidak mendasar (radical) sebagai dasar, sehingga muncul radikalisme yang justru mencoreng Islam.

Banyak perpecahan muncul lantaran kita gagal memahami mana yang mutlak dan mana yang relatif. Banyak kehancuran terjadi akibat kita gagal mendedahkan mana yang fondasi dan mana yang sekedar interior. Banyak kesemrawutan timbul lantaran tidak bisa membedakan mana wahyu dan mana pemahaman terhadap wahyu.

Dalam tahap tertentu — setelah melalui pembelajaran, pemikiran dan segala upaya — saya meyakini apa yang saya pahami adalah kebenaran. Itu harus! Kalau tidak, buat apa saya susah-payah belajar, mondok, berpikir, menganalisa dan sebagainya jika hanya membangun keraguan dan menganggap ada banyak kebenaran. Namun keyakinan saya, keyakinan kita terhadap kebenaran yang telah kita anut tidak boleh menyerang kebenaran yang diyakini orang lain. Keyakinan kita terhadap satu kebenaran tidak boleh agresif, menteror, mengancam, menegasikan kebenaran yang diyakini pihak lain. Ini serius, tapi santai. Santai, tapi serius. Kiranya wajah Islam yang seperti ini yang sejak lama ada di Nusantara kita.

“Pendapatku benar, namun mungkin mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, namun mungkin mengandung kebenaran,” demikian Imam Syafii dengan kearifannya. Seorang Mujtahid yang mayoritas penduduk Indonesia mengamalkan mazhabnya. Seorang Imam bijak dan toleran yang belakangan ini sering dibajak namanya oleh kaum intoleran.

Sekali lagi, wahyu itu mutlak. Dan pemahaman terhadap wahyu itu relatif, kecuali bagi penceramah pemarah yang memutlakkan pemahamannya agar disejajarkan dengan wahyu, minimal disejajarkan dengan Imam Syafii. Hehehe…
Wallahu a’lam.

(Sebagian) Pelindung Selain Allah 

Dalam AlQuran disebutkan bahwa perumpamaan orang yang menjadikan sebagian selain Allah sebagai pelindung seperti laba-laba yang membuat rumah. Rumah laba-laba adalah rumah paling tidak memenuhi syarat melindungi penghuninya dari panas dan terik, lebih parah ketimbang RSSS yang dulu sempat populer.
Tapi kenapa Kanjeng Nabi selamat dari kejaran Musyrik Quraisy saat hari-hari terakhirnya di Mekkah, ketika perjalanan hijrah: rumah laba-laba dan telur burung dara memalingkan pandangan mereka dari dua sosok mulia di Tsur, Kanjeng Nabi dan satu-satu orang yang disebutkan sebagai ‘sahabatnya’. Kenapa laba-laba yang katanya lemah itu dan telur burung dara yang tak memiliki daya apa-apa?
Jawabnya, siapa yang berlindung kepada Allah, mengikrarkan ‘Allah bersama kita’, Innallaha ma’ana, maka Allah akan menjaganya, tanpa perantara maupun dengan perantara sebab, meskipun sebab itu selemah rumah laba-laba, sepasrah telur burung dara, atau seremeh — maaf — belek yang ada di mata kita.
Jumat Barakah.

Islam Radikal, Indoktrinasi dan Kemiskinan 

Sebagian kelas menengah muslim memperkenalkan Islam kepada kalangan muslim marjinal dengan wajah yang sadis dan marah. Terutama sadis dan marah kepada pemerintah. Negara dan pemerintah adalah musuh Islam, menurut mereka. Negara dan pemerintah adalah musuh mereka yang mengakibatkan kemiskinan mereka dan kesengsaraan mereka sejak dulu. 

Terlepas dari ada atau tidaknya keterkaitan antara kelompok radikal Islam di Indonesia dengan ISIS, kita bisa menelaah fenomena menarik gerakan kelompok tersebut. 
Kelas menengah muslim, yaitu kalangan muslim non-pemerintah dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang tergolong baik, sebagian dari mereka ada yang tidak perduli, apatis terhadap masalah kemiskinan, korupsi, dan segenap persoalan negara ini. Ketidakperdulian mereka — dan ketidaksukaan mereka terhadap pemerintah — membawa mereka kepada cara paling mudah dan paling cepat dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan persoalan bangsa lainnya. 

Kemiskinan yang membuat kelas bawah muslim yang miskin tidak punya akses ke pendidikan di-cover oleh mereka bukan dengan mendidik saudara-saudara muslim setanah air itu. Karena mendidik dan pendidikan bukan perkara mudah dan tidak bisa diselesaikan dengan cepat, apalagi kalau harus mencetak orang-orang pandai dan kritis. Mereka enggan melaksanakan pendidikan, tetapi ada cara yang paling cepat dan dahsyat menurut mereka: indoktrinasi dan revolusi. 

Dengan indoktrinasi, kelas bawah muslim yang tak terpelajar diajarkan oleh kelas menengah ini tentang pemahaman Islam yang dangkal. Jargon jihad dan takfir (men-judge orang lain kafir) sangat relevan dengan pandangan mereka bahwa Indonesia adalah negara kafir, negara thaghut. Maka jadilah para mujahid dan pengantin-pengantin bom yang tidak mengerti apa sesungguhnya itu jihad dan Islam. 
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Dengan indoktrinasi dan kaderisasi mujahid, kelas bawah muslim ini — seolah — menjadi terpelajar dengan pemahaman Islam dangkalnya, sekakigus mengentaskan kemiskinan si mujahid dan keluarganya. Karena untuk menjadi kader, mereka dijamin hidup layak bahkan jika sampai berani mati, keluarga yang ditinggalkan dijanjikan uang yang bisa mengangkat mereka dari jurang kemiskinan. 

Adapun revolusi adalah cara paling mudah untuk untuk menggantikan sebuah sistem pemerintahan. Revolusi — tentunya dengan cost politik dan sosial yang tinggi — menjadi andalan mereka untuk melawan negara dan pemerintahan yang sah. 

Berangkat dari ketidaksukaan mereka kepada pemerintahan, ketidakpedulian kepada kemiskinan dan persoalan-persoalan bangsa, dan pemahaman dangkal tentang Islam, mereka menawarkan revolusi. Dengan menggantikan sistem pemerintahan yang sudah ada, mereka menjanjikan sistem baru yang katanya lebih Islami dan adil. Khilafah solusinya, kata mereka. NKRI bersyariah slogannya, hasrat mereka. 

Solusi revolusi dan khilafah ini seperti seseorang yang mengobati kutil di tangan dengan mengamputasi tangan penderita kutil. Atau kalau perlu, membunuhnya dan menggantikan orang baru yang lebih sehat dan beragama. Agama menurut pemahaman dangkal mereka. 
Sebagaimana disinggung di atas, kelas menengah muslim ini memperkenalkan Islam kepada kelas bawah muslim yang marjinal dengan wajah yang sadis dan marah. Terutama Islam yang sadis dan marah kepada pemerintah. Negara dan pemerintah adalah musuh Islam, menurut mereka. Negara dan pemerintah adalah musuh mereka yang mengakibatkan kemiskinan mereka dan kesengsaraan mereka sejak dulu. 
Ya, dan sejak dulu, agama selalu jadi racikan yang sedap untuk membakar sumbu-sumbu pendek kaum yang belum terdidik. Agama selalu jadi alat yang efektif dan efesien untuk membenarkan apatisme kelas menengah muslim di atas terhadap bangsa dan negara. 
Maka adalah naif bahwa mereka anti kepada negara dan Pancasila serta memusuhi polisi dan tentara, sementara sekian lama mereka tidak berbuat apa-apa untuk kemiskinan, pendidikan, dan banyak persoalan bangsa lainnya! Dan mereka hidup enak di negeri kita tercinta ini, menikmati demokrasi, makan dan minum dari tanah dan air ibu pertiwi. 
Maka, tidak ada satu kata selain LAWAN!!!

Kita lawan dengan mendidik anak-anak dan orang yang kita cintai tentang cinta tanah air, cinta para pahlawan dan pendahulu bangsa, menghargai perbedaan dalam keragaman bangsa ini, menghormati keyakinan pemeluk agama lain dan yang terpenting mendukung dan mengkontrol pemerintah, aparat negara, polisi, TNI dan penegak hukum agar melaksanakan konstitusi secara tegas dan berwibawa. Agar NKRI terjaga dan terus berjaya. Setidaknya, kita mulai dari diri kita sendiri. Ibda’ binafsik, kata pepatah Arab. 

Semoga kita diberi kekuatan untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat tanah air ini dan untuk berterimakasih kepada para pendiri negeri ini.

Memahami Syariat dan Tidak Menjualnya

Soleh atau saleh, kadang-kadang disebut dengan kesalehan, ada dua: kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Kesalehan individual yang kaitannya dengan hak-hak Tuhan. Seperti sembahyang, puasa, sedekah wajib dan lainnya. Ini penting dan wajib dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya.
Namun tidak kalah pentingnya, kesalehan sosial. Kesalehan dengan wujud pelaksanaan kita atas hak-hak sesama manusia. Kesalehan sosial ini juga harus senantiasa dijaga dan dirawat dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Lebih-lebih, kesalehan social itu memiliki nilai universal. Artinya, kebenaran kesalehan sosial ini diakui oleh segala agama, budaya, adat-istiadat, tradisi dan bangsa apapun.
Beda dengan kesalehan individual yang tata caranya diatur oleh ajaran masing-masing. Sembahyang orang non muslim misalnya, beda dengan sembahyang muslim atau solat. Bahkan yang tidak bisa woles anti dengan istilah sembahyang untuk menamai sembahyang orang islam atau solat. Mudah-mudahan bisa dipahami. 
Berkata jujur, tidak berbuat curang dan korup, berbuat baik kepada tetangga, menjaga alam dan lingkungan, bekerja dengan total dan penuh dedikasi, bergaul dengan orang lain yang berbeda keyakinan secara baik, memandang semua manusia dengan persamaan hak dan bersikap adil. Demikianlah kesalehan sosial diajarkan oleh semua agama, termasuk oleh agama Islam, oleh syariat Islam.
Syariat adalah sinonim dari agama. Syariat bersumber dari Nash atau teks Al Quran dan Hadits. Syariat adalah satu hal. Sedangkan pandangan terhadap syariat, pemahaman terhadap syariat adalah satu hal lain yang berbeda.
Syariat selalu benar. Sedangkan pemahaman seseorang terhadap syariat bisa benar, bisa salah. Syariat sudah tentu benar. Sementera penjelasan seseorang tentang syariat islam bisa benar, bisa salah.
Karenanya para ulama terdahulu seringkali menutup penjelasan mereka dengan ucapan “Wallahu a’lam bishshawab.” Sebuah sikap rendah hati. Sebuah sikap yang lahir dari kesadaran bahwa: sebuah pemahaman dan penjelasan terhadap syariat belum tentu benar.
Berangkat dari relatifitas kebenaran dalam pemahaman terhadap syariat ini, sudah selayaknya kita bersikap toleran terhadap perbedaan mazhab dan golongan. Bersikap toleran, bahkan terhadap non muslim yang dijamin oleh negara. Toh, non muslim bukan orang yang wajib menerima pembebanan syariat atau taklif.
Apalagi terhadap saudara-saudara kita yang Syiah, Ahmadiyah dan lainnya. Tidak ada istilah kafir terhadap mereka, karena mereka juga menghadap ke kiblat yang sama. Dalam term tauhid  disebut dengan ahlul qiblah yang keberadaannya sama dengan kita.
Dengan sadar dan penuh kerendahan hati mari kita ucapkan, “Mazhabuna shawab, yahtamilul khatha’. Wa mazhabu ghairina khata’, yahtamilush shawab.”
“Pandangan saya benar dan masih mungkin mengandung kesalahan. Pandangan orang lain salah tapi masih mungkin mengandung kebenaran.”
Inilah sikap yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat serta generasi ketiga yang dikenal dengan salaf soleh, orang-orang terdahulu yang soleh secara individu dan soleh secara sosial. Generasi awal islam yang penuh dengan toleransi dan kerendahan hati.
Sekali lagi, syariat sudah tentu benar secara absolut, tapi pemahaman dan penjelasan seseorang terhadap syariat itu relatif: bisa benar, bisa salah.
Kalau kebenaran pandangan terhadap syariat itu relatif, lalu bagaimana kita mengukurnya?
Pesan Nabi Muhammad kepada para sahabatnya, “Ma ana alaihi wa ashabi.” Ikutlah apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan.
Maka syariat Islam yang harus diikuti adalah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Mari meneladani Nabi dan para sahabatnya, dalam aqidah mereka, dalam sikap mereka mempermudah pelaksanaan ajaran Islam, bukan mempersulit. Dalam sikap mereka yang selalu mempertimbangkan konteks waktu dan tempat dalam menentukan keputusan. Bukan yang apriori terhadap konteks tempat dan mengabaikan kondisi zaman dalam bersyariat.
Dengan sikap arif dan bijak inilah, wajah Islam yang diperkenalkan oleh Nabi menjadi ramah dan memperoleh banyak simpati. Menjadi Islam ramah, bukan Islam marah.
“Fa bima rahmatim minallahi linta lahum. Walau kunta fazhzhan ghalizhal qalbi, lanfadhdhu min haulik.”
Maka sebab rahmat dan kasih sayang Allah, enkau bersikap lembut kepada mereka. Jika engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka akan berlari darimu. (Ali Imran ayat 159)
Satu waktu dalam masa jabatannya sebagai amirul mukminin, Sayyidina Umar Bin Khattab pernah meniadakan permberlakuan hudud atau potong tangan kepada seorang pencuri. Dengan alasan yang arif lagi bijak, pertimbangan yang relevan dan kontekstual, ia tidak memberlakukan hukum potong tangan seorang pencuri onta. Karena ia mencuri pada masa paceklik yang memang sedang melanda negeri.
Demikian Umar yang terkenal dengan ketegasannya, dengan kepribadiannya yang keras. Namun tetap arif dan bijak memahami konteks waktu paceklik, di tempat berupa negeri yang sedang paceklik.
Maka sama halnya di Indonesia. Kita pahami Syariat Islam sebagai semangat untuk membuat Islam luwes dan cocok serta relevan untuk saat ini, di tempat ini, di Negara Indonesia yang kita cintai. Berjalan seiring dengan kostitusi yang ada, tanpa harus dibenturkan antara keduanya.
Secara sederhana syariat pasti memiliki prinsip. Prinsip-prinsip Syariat dirumuskan menjadi lima tujuan dasar. Lima tujuan dasar inilah yang menjadi sebab syariat dibutuhkan. Syariat yang universal. Syariat yang tidak diskriminatif terhadap golongan selain islam. Lima tujuan dasar syariat itu dikenal dengan Kulliyatul khams: hifzhunnafs, hifzhul ‘aql, hifzhul mal, hifzhunnasl, dan hifzhuddin.

Pertama Hifzunnafs, memelihara jiwa setia orang tanpa terkecuali. Bukan Syariat Islam jika dengan gegabah mudah menghilangkan nyawa seseorang. Kedua, hifzul’aql, memelihara akal sehat. Bukan syariat islam jika menyebabkan fanatisme buta dan akal sehat serta nurani berhenti bekerja.

Ketiga, hifzul mal, memelihara harta kepemilikan setiap orang tanpa terkecuali. Bukan syariat Islam, jika menghalalkan penjarahan atas nama agama. Keempat, hifzhunnasl, memelihara garis keturunan. Bukan syariat Islam jika menghalalkan pergundikan hingga nasab seorang anak menjadi tidak jelas dan simpang siur.
Keempat, hifzuddin, memelihara agama. Bukan syariat  Islam jika memaksa penganut agama lain mengikuti agama kita. Karena tidak ada paksaan dalam agama.

Semoga Allah memberikan kita kemampuan dalam bersikap arif dan bijak, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad saw., para sahabat dan generasi awal islam yang toleran.

Wallahu a’lam bishshawab.

Islam Marah dan Islam Ramah

image

Stiker GUSDURians yg berbunyi ‘butuh islam ramah, bukan islam marah’ sulut marah kelompok islam pemarah di bogor pd area ibadah GKI Yasmin. marah itu kondisional. setiap org bisa saja marah pd kondisi2 tertentu. tapi pemarah itu tabiat yg dibentuk oleh pembiasaan. lalu islam marah?
islam marah pd kondisi-kondisi tertentu lumrah. islam pemarah sebagai tabiat adalah suatu yang  harusnya tidak ada. ada banyak pengandaian untuk mencegah tabiat itu.

Andai para pemarah yang mwngaku muslim itu mengerti benar bahwa Kanjeng Nabi amat jarang menunjukkan amarahnya hingga meluap-luap bahkan melukai orang lain. Andai mereka tau bahwa beliau seringkali berkeringat dahinya karenamenahan amarahnya. Demikian cerita Sayyidah Aisyah.

Andai mereka tau bahwa Al Quran menyebut beliau begitu lembut karena kasih sayang Allah. Jika beliau keras dan beringas pasti semua lari dan menjauh dari beliau dan tentunya dari islam.

Andai mereka tau benar bahwa mereka hanyalah boneka yang karena bisa dibeli dengan uang lima puluh ribuan karena keterdesakan ekonomi maka harusnya mereka sibuk membenahi ekonomi mereka dengan benar. Bukan sibuk mengintimidasi orang yang berbeda.

Andai mereka mengerti bahwa keterdesakan ekonomi itu karena sistem yang tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki kelayakan hidup maka harusnya mereka mendobrak sistem itu . Bukan melukai sesama rakyat biasa.

Andai mereka mengerti benar bahwa marah adalah sifat setan yang muncul karena kebencian, kebencian karena kedengkian, kedengkian karena kecemburuan ekonomi, maka berpuasalah atau berlomba memperbaiki kehidupan diri dan keluarga.

Andai… Saudaraku kembalilah. Di sini Indonesia rumah besar kita bersama.

Jakarta, 170112