selepas kau pergi pada senja yang tak kunjung gelap
ada putus asa menggantung di langit tanpa bintang gemerlap
lebih baik malam cepat datang dan memainkan musik penantian
untuk pagi esok atau jarum jam mengisi angka yang hilang
senja setahun lalu digelayuti mendung
menetes darinya air mata perpisahan yang murung
sepotong senyumnya ingin berkata pada anak-anak,
“teruskan ini untuk kau dan
anak-anakmu”.
seperti derit ayunan masa kecil
atau pendulum yang memotong ruang nihil
begitu sepi
betapa sunyi
tampaknya tak ada lagi yang perlu dilakukan selain
melukis mendung ini dengan penghormatan
di mana akan kau letakkan nasib anak-anakmu jika lena mengurungmu dalam haru,
katanya berulang menggema
memantul ke dinding-dinding hati
mebisingkan kekuasaan busuk dengan sari benci
menggerayangi setiap jengkal tubuh orang lelap agar lekas terjaga
kebencian tak akan mampu merubah nasib anak-anak
beberapa kedipan mata sudahlah cukup
selanjutnya cinta menjadi angin
menyalin baju kebencian dengan kesetian
bukan pada kekuasaan
namun pada kemanusiaan
tanah, air, udara, api, putih, jingga, ungu, merah, jangan tertinggal hitam kelam
ada pada ufuk diri kita sebagai manusia
selepas kau pergi sore ini setahun yang lalu
aku masih malu pada batu yang tersedu
di pusaramu kini
di uluran tanganmu ini
untuk melukis mendung dengan perjuangan
agar senja tak terlelap
agar kekuasaan tak semakin kalap
Ciganjur, 181210