Bertahun-Bertahun Mencari

kepalaku menunduk merendah
memandangi telapak pecah-pecah
angin kencang mengoyak
jubah hatiku yang baru mulai
bersujud

dalam mataku ada padang lapang
setumpuk jerami tumpang
menunggu saat disiangi
angin dalam hati mengoyak kembali

bertahun-tahun aku mencari
di balik gunung pengetahuan
di kawah peradaban
di kedalaman tanah
sejarah

jauh di sana
alas kaki berkali ganti
bertahun-tahun aku mencari
dan ia ada di sini

tidakkah kau mau menghabiskan seteguk dari cangkir ini
bersama kami
di sini
yang hanya seteguk

Tulung Agung, 13 Desember 2010

Bagaimana Aku Tak Mencintaimu

bagaimana aku tak mencintaimu
meski kerap aku menjauh
seperti sungai punggungi hulu
kau tetap kukuh
membasahi hati tetes satu satu
meminumkan air kelembutan
setelah suap keperkasaan

bagaimana aku tak mencintaimu
kau tak pernah merengek untuk dicinta
seperti pemuja diri sendiri
dengan api yang hangat nyalanya
kau suluhi setiap pori-pori
lubang kecil keuletan para pecinta
saat malam-malam menepi

bagaimana aku tak mencintaimu
dan puisi tak pernah usai kau tuliskan
pada jarak terjauh fatamorgana
juga kau lahirkan menjadi kenyataan
sementara aku hampir lupa mengingat huruf permulaan
abjad semesta raya padaku bertahta

bagaimana aku tak mencintaimu
cintamu mengalahkan kebodohanku
dalam gelap kubangan masalalu
kau tuntun aku bersimpuh
untuk belajar menundukkan derap menderu
masa kini potongan-potongan ilmu
kau ajarkanku sempurna dalam mencinta

bagaimana aku tak mencintaimu

Tulung Agung, 13 Desember 2010

Yang Ku Tau Kau Selalu

image

aku menginjak tanah yang menyusuimu dengan kebersahajaan dan kearifan
terik mentari menerbangkan bau air kali
mampir di dahan-dahan kelapa
yang menjaga istanamu kini
istana lain dari yang sempat kau huni
untuk kemanusiaan

anak-anak tanggung mengenaskan
berlarian di pelataran
peradaban
kau ajak mereka bermain
keluar masuk ruang bahkan labirin
agar mengerti hidup adalah
kearifan

yang ku tau kau selalu
mengajari mereka dengan pena aneka warna
kuas kebajikan apa saja
untuk kemanusiaan

yang ku tau kau selalu
memeluk mereka yang beda
dengan kelembutan apa adanya
untuk kemanusian

yang ku tau kau selalu
menggandeng jemari masalalu
dan menuntunnya meraih hari ini dan nanti
untuk kemanusian

yang ku tau kau selalu
menyukai sekedarnya
membenci sebatasnya
untuk kemanusian

yang ku tau kau selalu
mentertawakan kemusykilan
tersenyum di hadap persoalan
untuk kemanusiaan

tapi mengapa manusia tetap rela
direpotkan oleh masalah itu-itu saja
serta bangga berhujjah
untuk kemanusiaan

tidakkah mereka berjalan dan melihat kisah tertoreh tentang orang-orang sebelum mereka

yang ku tau kau selalu
masih terus mencintaiku
sebagai murid bangsa
yang bangkit dengan sahaja

Jombang, 13 Desember 2010

Kado Untukmu

gerimis mengetuk berkali kaca jendela
angin meniupnya menjadi sebuah lukisan
tentang keputusasaan
merah hitam meleleh seperti malam di perapian desa

lewat gerimis itu
ku sampaikan kado untukmu
sebuah jam berputar ke arah masa lalu
pada sebuah pesta sarat semu

lewat angin itu
ku sampaikan keluh kesahku
yang hilang ditelan asap, ombak, dan air mata
mengetuk berkali kaca jendela hati

dan lukisan keputusasaan
menjadi kaligrafi di atas nisan

lewat semua itu
ku sampaikan kado untukmu

kebon kosong, 171210

Melukis Mendung Senja Yang Murung

selepas kau pergi pada senja yang tak kunjung gelap

ada putus asa menggantung di langit tanpa bintang gemerlap

lebih baik malam cepat datang dan memainkan musik penantian

untuk pagi esok atau jarum jam mengisi angka yang hilang

 

senja setahun lalu digelayuti mendung

menetes darinya air mata perpisahan yang murung

sepotong senyumnya ingin berkata pada anak-anak,

“teruskan ini untuk kau dan

anak-anakmu”.

 

seperti derit ayunan masa kecil

atau pendulum yang memotong ruang nihil

begitu sepi

betapa sunyi

tampaknya tak ada lagi yang perlu dilakukan selain

melukis mendung ini dengan penghormatan

 

di mana akan kau letakkan nasib anak-anakmu jika lena mengurungmu dalam haru,

katanya berulang menggema

memantul ke dinding-dinding hati

mebisingkan kekuasaan busuk dengan sari benci

menggerayangi setiap jengkal tubuh orang lelap agar lekas terjaga

 

kebencian tak akan mampu merubah nasib anak-anak

beberapa kedipan mata sudahlah cukup

selanjutnya cinta menjadi angin

menyalin baju kebencian dengan kesetian

bukan pada kekuasaan

namun pada kemanusiaan

 

tanah, air, udara, api, putih, jingga, ungu, merah, jangan tertinggal hitam kelam

ada pada ufuk diri kita sebagai manusia

 

selepas kau pergi sore ini setahun yang lalu

aku masih malu pada batu yang tersedu

di pusaramu kini

di uluran tanganmu ini

untuk melukis mendung dengan perjuangan

agar senja tak terlelap

agar kekuasaan tak semakin kalap

 

Ciganjur, 181210

Hujan Kasih Sayang

hari ini ribuan tetes kasih membasahi bumi
menggenang menjadi kubangan sayang. terserap tanah
sewaktu-waktu disusukan bagi manusia
tidak hanya sehari, tidak cuma sesaat

dan nanti para pejalan dahaga
setengah kalap atau merayap
minum dari bumi yang sama
mereguk dari langit satu jua

hingga sekadar reguk atau kekenyangan
tenggelam di lautan tanah yang tak lagi basah
yang semasa lalu diinjak, diludahi, dilupakan
di penantian keabadian itu-itu juga

Cilandak, 140211

Waktu Jaga Membatu

doa-doa yang merangkak naik
menyelami kabut-kabut kegalauan
aku lepaskan dengan salam
di rumbai sajadah dan manik-manik

di negeri ini sebuah tanya seperti berita
tak akan terjawab hingga luka menganga
sampai pada akhir hanya ada keluh kesah
terbungkus jasad yang resah

musim yang layu menegurku
tidakkah salah satu dari kita
pernah memperkosa waktu
dalam jaga yang membatu?

Jakarta, 070411