Menghindari Kesalahan Berpikir

Kita mungkin pernah mendengar pernyataa ini:

“Islam ya Islam. Gak ada islam nasionalis. Gak ada islam internasionalis. Gak ada islam kanan. Gak ada islam kiri. Gak ada islam keras. Gak ada islam lunak. Gak ada islam pks. Gak ada islam ppp. Gak ada islam pbb. Islam ya islam. Tunduk patuh sma Allah Yang menciptakan. Islam ya islam. Bersih membersihkan tapi tak bisa dibersihkan krn sampai kapanpun islam takkan hilang. Islam ya islam. Damai suci sejuk sejahtera kuat melindungi mengayomi adil jelas tegas, pokoknya segala kebaikan ada dlm islam”

Yuk kita telaah pernyataan di atas.

  1. Islam ya Islam. Pernyataan ini adalah pernyataan konseptual, pernyataan yang ada dalam pikiran kita tentang apa itu Islam: Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., misalnya. Pada tataran konsep betul demikian, bersifat universal. Semua konsep itu universal. Seperti konsep ‘putih’ itu universal. Namun pada realitas eksternal, pada kenyataan di depan mata kita, kita melihat ternyata putih salju berbeda dengan putihnya kain, berbeda dengan putihnya bola mata, berbeda dengan putihnya angsa, berbeda dengan putihnya kertas. Artinya, dalam realitas eksternal tidak ada yang universal. Tidak ada yang seragam, tetapi plural. Realitas eksternal atau di luar diri kita, di kenyataan yang kita alami, putih itu mengambil bentuk individuasi pada masing-masing benda di alam nyata. Sekarang mari kita terapkan konsep universal Islam pada kenyataan di luar diri kita. Kita jumpai ternyata Islam dalam realitas eksternal juga mengambil bentuk individuasi sebagaimana konsep putih. Pada tataran konseptual, pernyataan “Islam ya Islam” itu betul. Namun pada tataran realitas eksternalnya, itu pernyataan orang khilaf, untuk tidak mengatakan kalap. Kenapa saya katakan khilaf?

  2. Kebanyakan khilaf dalam berpikir sehingga kalap adalah penggunaan pilihan kata yang cenderung emosional. Seperti, “pokoknya”, “asal bukan dia”, “yang penting” dan banyak ujaran simplifikasi-manipulatif yang muncul akibat kalap dan ketidakmampuan berargumentasi. Pernyataan di atas bisa dirumuskan dengan sangat emosional menjadi “Pokoknya, Islam ya Islam.” Ketidakmampuan berargumentasi ini lalu melahirkan kesalahan berikutnya, yakni menarik proposisi konseptual kepada realitas eksternal. Menarik pernyataan “Islam ya Islam” kepada kesalahkaprahan berikut:

  3. “Gak ada islam nasionalis. Gak ada islam internasionalis. Gak ada islam kanan. Gak ada islam kiri. Gak ada islam keras. Gak ada islam lunak. Gak ada islam pks. Gak ada islam ppp. Gak ada islam pbb.” Dalam realitas eksternal semua itu tidak ada, menurut orang yang menyuarakannya. Tapi ternyata dalam realitas kok ada! Maka dalam realitas eksternal, Islam mengambil bentuk individuasi. Kita tidak bisa pungkiri ini kecuali kita gelap mata atau memilih menjadi Sofis Yunani yang kerap membohongi orang banyak. Maka dalam tataran realitas, ada Islam Nasionalis, ada Islam Kanan, ada Islam Kiri, ada Islam Nusantara dan sebagainya, sesuai pemahaman masing-masing kelompok atau individu dalam memahami Islam konseptual. Mengenai konsep “kiri”, “kanan”, “nusantara” dan sebagainya silahkan dicari dan dipahami dengan jernih.

  4. “Tunduk patuh sama Allah Yang menciptakan” Ini juga pernyataan pada tataran konsep. Sebagian konsep ada yang sifatnya ideal. Ideal-nya Islam ya tunduk patuh sama Allah Yang menciptakan. Namun praktek di lapangan, sebagian kita tunduk dan patuh bukan kepada Allah Yang Menciptakan, tetapi tunduk dan patuh kepada yang menciptakan suatu pemahaman (aliran) atas Islam, tunduk dan patuh kepada pencipta doktrin takfiri, tunduk dan patuh kepada elit partai, tunduk dan patuh kepada hawa nafsu, kepentingan, kebencian dan sebagainya. Idealisme seringkali gagal terealisir lantaran perilaku pengamalnya. Kita tidak bisa menyalahkan idealisme, namun tidak boleh membenarkan praktek perorangan atau kelompok sebagai Islam yang ideal. Maka dahulukan ‘apa’ yang ideal daripada ‘siapa’ yang mengamalkannya.

  5. Islam ya islam, silahkan kembali dipahami point ke-1. Saya khawatir kekeliruan membedakan mana konsep dan mana realitas mendorong pemikiran lain. Misalnya, “suami ya suami! Tidak ada suami setia, suami siaga, suami buaya! Tidak ada suami orang, suami saya, suami poligami! Suami ya suami.” Kan repot?!

  6. “Bersih membersihkan tapi tak bisa dibersihkan krn sampai kapanpun islam takkan hilang” ini bisa dinalisa dengan pisau bedah nomor 2 dan 4.

  7. “Islam ya islam” semakin jelas dan emosional, bukan? Sampai di sini, saya jadi ingat pesan Kanjeng Nabi, “Jangan Marah!”, dan sabda Beliau SAW., “Tidak boleh seorang hakim memutuskan perkara sedangkan dia dalam keadaan marah.”

  8. “Damai suci sejuk sejahtera kuat melindungi mengayomi adil jelas tegas pokoknya segala kebaikan ada dlm islam.” Akhirnya, diksi kata “pokoknya” benar-benar menunjukkan kekalapan dan ketidakmampuan berargumentasi dari orang yang mengucapkannya.

Semoga kita dilindungi oleh Allah dari sifat mau benar sendiri, dari sikap menang-menangan dan kemarahan yang mengaburkan akal sehat kita. Wallahu a’lam bishshawab.

Tinggalkan komentar